SEHARUSNYA MEREKA ADA
OLEH: ADE KURNIA
Semua akan sepakat bahwa bahasa Inggris merupakan bahasa nomor 1 di dunia. Akibat dari imperialisme dan kolonialisme kerajaan Inggris di masa lampau terhadap sebagian besar penjuru dunia, mengakibatkan bahasa Inggris menjadi lingua franca (bahasa pergaulan). Di sebagian negara, bahasa Inggris telah menjadi bahasa kedua (second language) setelah bahasa ibu (mother tongue)/bahasa nasional. Berbeda dengan Indonesia, bahasa Inggris masih menjadi bahasa asing (foreign language). Oleh karena itu, bangsa kita berusaha mengejar ketertinggalan ini dengan dimasukkannya bahasa Inggris di setiap jenjang pendidikan. Bila di SMP dan SMA sudah menjadi pelajaran wajib, maka di SD masih bersifat muatan lokal. Dan di TK pun sudah mulai dikenalkan bahasa Inggris sebagai jalan untuk memasyarakatkan bahasa Inggris.
Setiap usaha untuk memperbaiki kualitas tentu akan menemui kendala. Namun apa kendalanya? Di SMP dan SMA sudah menjadi pelajaran wajib, guru mata pelajaran bahasa Inggris ada stok dan diakomodir oleh pemerintah, dan ini relatif tidak bermasalah. Lain halnya di SD, dikarenakan masih bersifat muatan lokal, maka untuk guru bahasa Inggris di SD “tidak ada” apabila tidak mau dikatakan “tidak boleh ada”. Di SD hanya diperbolehkan guru Pendidikan Agama Islam dan guru Olahraga sebagai guru mata pelajaran khusus. Sedangkan yang lainnya, dipegang oleh guru kelas. Dan disinilah dilema muncul.
Dilema? Ya, benar-benar dilema yang mungkin akan selalu menjadi polemik yang semakin problematis. Dikatakan dilematis karena sifat bahasa Inggris yang sangat kompleks. Sama halnya dengan bahasa Indonesia, ada berbagai tata bahasa yang harus dipatuhi. Lengkap dan detil, dan tentu saja tidak ada main-main dalam penyampaiannya. Dengan demikian, tenaga pengajar untuk bahasa Inggris haruslah benar-benar profesional dan mumpuni. Jangan sampai penyampaian bahasa Inggris di SD yang asal-asalan mengakibatkan out put yang “abal-abal”. Dan jangan memaksakan guru kelas (guru umum) untuk mengajarkan bahasa Inggris, karena dilihat dari segi pendidikan kurang memiliki kualifikasi. Memang benar ada yang mampu, tapi mayoritas tidak. Maka dari itu, beramai-ramai Sekolah Dasar “menyewa guru luar” untuk meng-handle bahasa Inggris. Disinilah mata rantai dilematis mulai berputar. Tenaga pendidik harus dibayar, sekalipun sewaan (baca: honorer), akan tetapi feed back yang mereka tidaklah sesuai dengan kualifikasi pendidikan mereka. Akan tetapi keberadaan guru bahasa Inggris di SD tidaklah mendapat suntikan motivasi yang “hebat”. Ada baiknya pemerintah mengakomodir keberadaan guru bahasa Inggris SD menjadi guru mata pelajaran yang diakui, sama seperti guru Pendidikan Agama Islam dan guru Olahraga. Bisa? Pasti bisa. Karena bahasa Inggris tidak hanya sekedar mengajarkan sejumlah suku kata, akan tetapi jauh lebih banyak dari hal demikian, seperti listening, reading, writing, speaking, stressing words, pronunciation, dan masih banyak lagi. Oleh karena itu, berikanlah kesempatan karir yang pantas di SD untuk mereka yang telah menginventasikan waktu, tenaga, dan biaya untuk mempelajari bahasa Inggris. Marilah kita merenungkan hal ini, karena kesempatan untuk mengabdi di SMP atau SMA sangatlah minim. Satu-satunya memulai karir adalah di SD. Maka, berilah pengakuan kepada guru bahasa Inggris SD dari pihak-pihak yang berwenang. Jadikanlah bahasa Inggris menjadi mata pelajaran wajib seperti mata pelajaran yang lain. Dengan demikian, akan banyak dibutuhkan tenaga pengajar bahasa Inggris yang profesional dan memiliki integritas tinggi. Dan memang, “seharusnya mereka ada”.
Terima kasih penjelasannya tentang Guru Honorer yang cukup lengkap ini. Salam kenal...
BalasHapus