Selasa, 20 Maret 2012

JEANS JACQUES ROUSSEAU


JEANS JACQUES ROUSSEAU (1712 1778 M)

“Buah Pikirannya Kerap Jadi Rujukan Kaum Ilmuwan. Inilah Filosof yang Pernah Membuang Lima Orang Anaknya, Gemar Kumpul Kebo dan Suka Berganti-Ganti Agama Sesuai Kebutuhan”.
Sebuah kotak-kotak kardus dibungkus pakaian bayi atas perintah majikannya, seorang pembantu membawanya keluar tepat di depan pintu lembaga sosial, kardus itu dijatuhkan, Buk! Esoknya, kardus itu dibuka petugas lembaga sosial dengan ekspresi biasa-biasa saja. Lembaga itu memang sudah sering mendapat kiriman bayi merah. Dalam setahun tak kurang 3000 bayi “dibuang” ke lembaga ini. Kebanyakan tak berusia panjang alias mati. Lalu, siapakah majikan yang tak berkeperimanusiaan itu?
Dialah Jean Jacques Rousseau, filosof tersohor pengkaji teori politik barat tentu tidak asing dengan nama ini. Karyanya yang sangat terkenal diantaranya adalah “The Social Contract”, yang banyak dijadikan rujukan negara-negara penganut sistem totaliter. Sebagai intelektual, banyak kalangan memuji Rousseau, tapi sebagai pribadi sungguh banyak perilakunya yang tidak terpuji dan sangat tidak pantas untuk ditiru. Betapa tidak, jenis ayah macam apa yang dengan enteng hati membuang anaknya, hanya karena alasan yang sangat sepele? “Bagaimana mungkin saya dapat memperoleh ketenangan pikiran yang saya perlukan untuk membuat karya-karya, jika loteng saya dipenuhi urusan domestik dan kesedihan anak-anak?” katanya.
Anaknya yang dibuang bukan cuma satu, empat lainnya juga mengalami nasib yang sama, tanpa sempat punya nama. Istrinya yang tidak kuasa menahan tindakan gila Rousseau, hanya bisa menangis karena hatinya remuk. Rousseau masih mempunyai kegilaan lain. Sebelum bertemu dengan Therese Lerasseur, wanita yang melahirkan anak itu, ia pernah kumpul kebo dengan Madane de Warens. Itu dilakukan hanya untuk memperoleh bantuan dana dari wanita mantan pegawai Kerajaan Prancis dan Gereja katolik Roma itu. Tak tanggung-tanggung, kumpul kebonya sampai bertahun-tahun.
Ia mengidap hiperseks dan telah berganti pasangan dengan lebih dari 40 wanita. “Saya butuh wanita-wanita muda”, ujarnya. Beberapa kalangan menduga boleh jadi perilakunya disebabkan karena sedari kecil ia sudah ditinggal mati oleh ibunya.
Ia lahir dari rahim seorang wanita yang bernama Suzanne Bernard. Ibunya meninggal sesaat setelah melahirkan Rosseau. Ia kemudian besar dibawah asuhan ayahnya, Isane. Ayahnya seorang pembuat jam yang gagal. Mungkin karena frustasi, ia kerap bikin ulah dan terlibat tindak kekerasan. Mentalnya sungguh labil. Tentu saja ini berpengaruh buruk kepada diri Rosseau. Kadang ia mendapat limpahan kasih sayang dari sang ayah. Namun, hanya
dalam hitungan detik, keadaan itu bisa berubah. Ayahnya bisa menjadi kasar, ganas dan menakutkan. Kakaknya pernah menjadi korban keganasan ayahnya itu. Kakak satu-satunya itu tidak tahan dan pada akhirnya melarikan diri dan tak pernah kembali.
Nafsu seks Rosseau yang terlampau besar sudah nampak sejak remaja. Ia gemar melakukan masturbasi. Baginya masturbasi itu berefek positif. Diantaranya dapat mencegah pemuda dari penyakit. Juga katanya, membuat orang penakut dan pemalu menemukan kenyamanan, lebih dari satu kenikmatan khayalan-khalayan hidup. Ketika masih remja, ia suka bertindak porno, misalnya sambil berjalan-jalan ia memamerkan (maaf) pantatnya yang telanjang kepada para wanita. Kata “dosa” memang tidak ada dalam kamus Rousseau. Menurutnya, agama itu tidak penting.
Di sisi lain, Rousseau mempunyai ambisi besar menjadi orang terkenal. Berbagai pekerjaan pernah dicicipinya, demi menggapai impiannya itu. Setidaknya ia pernah mencoba tiga belas pekerjaan mulai sebagai pengukir, pesuruh, murid seminari, musisi, pegawai negeri, tutor, kasir, penulis dan sekretaris pribadi.
Ia sempat menjadi sekretaris kedutaan Prancis di Venezia (Italia). Setelah 11 bulan ia dipecat karena sifat pribadinya yang buruk. Rousseau juga dicap pengkhianat oleh gereja Prancis karena suka berganti-ganti agama, sesuai kepentingannya. Ketika berkepentingan terhadap duitnya Medame de Warens, ia pindah ke agama Katolik. Namun, ketika ingin menjadi warga Genewa (Swis) lagi, ia kembali ke kayakinannya semula, yaitu Calvinis.
Soal pemikiran politik, tokoh yang meninggal tahun 1778 ini lebih mengarah kepada otoritarianisme. Negara, menurut Rousseau, tidak hanya otoriter, tetapi juga totaliter sebab negara mengatur setiap aspek kehidupan manusia termasuk pemikiran. Dalam The Social Contract ia menyatakan bahwa setiap pribadi diwajibkan untuk memindahkan semua haknya kepada negara secara keseluruhan. Ia berpendapat bahwa ada sebuah konflik yang tidak dapat dihilangkan antara sifat manusia yang mementingkan diri sendiri dan tugas sosialnya, antara manusia dan negara.
“Membuat manusia itu, dan kamu akan membuatnya bahagia. Berikan semua kepada negara atau biarkan dia semua pada diri mereka sendiri. Tetapi jika hanya membagi hatinya, kami telah merobeknya. Oleh karena itu kami harus memperlakukan warga negara sendiri sebagai anak dan mengontrol pertumbuhan dan pikiran mereka untuk menanamkan hukum sosial ke dalam hati mereka, jelasnya mereka kemudian menjadi makhluk sosial karena sifat-sifatnya dan warga negara karena perilakunya, mereka adalah satu, mereka akan baik, mereka akan bahagia dan kebahagiaan mereka akan menjadi kebahagiaan Republik,” katanya. Prosedur ini menyiratkan penyerahan total. ”Saya mengikat diri saya sendiri, tubuh, harta, kemauan dan semua kekuatan saya
kepada negara. Mengakui kepemilikan negara atas saya dan apa-apa yang bergantung kepada diri saya.” Dengan demikian, negara akan memiliki manusia dan seluruh kekuatannya. Negara mengontrol setiap aspek kehidupan sosial dan ekonominya.
Dalam beberapa hal, ide negara yang dikenalkan Rosseau itu menyebabkan rezim Pol Pot di Kamboja. Rezim ini dikenal sangat kejam karena tega membantai jutaan rakyatnya. Ini tidaklah mengherankan karena pemimpin partai ini dididik di Paris dan telah menyerap ide-ide Rosseau. Rosseau sangat yakin bahwa negara yang dibayangkan itu bakal diperdebatkan sebab “Mereka (negara) yang mengontrol opini rakyat, mengontrol juga tindakan-tindakan mereka.” Kontrol semacam ini dibangun dengan memberlakukan warga negaranya, dari sejak bayi, sebagai anak negara yang dididik untuk “Mempertimbangkan diri mereka sendiri hanya berhubungan dengan lembaga negara. Untuk tidak menjadi apa-apa kecuali dengan negara, mereka tidak akan menjadi apa-apa kecuali untuk negara, negara akan memiliki mereka semua dan negara menjadi milik mereka semua.”
Dengan demikian proses pendidikan merupakan kunci sukses dari teknik pembudayaan yang dibutuhkan untuk membuat negara dapat diterima dan sukses. Poros dari ide-ide Rosseau adalah warga negara sebagai anak dan negara sebagai orang tua. Menurutnya pemerintah harus sepenuhnya membesarkan semua anak-anaknya. Sungguh berbeda 180 derajat dengan kelakuan pribadinya.
(Bambang Subagyo/Hidayatullah/November 2004/Ramadhan 1425 H).

1 komentar: