Tampilkan postingan dengan label Asal Usul. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Asal Usul. Tampilkan semua postingan

Selasa, 20 Maret 2012

ASAL USUL SEMEN


ASAL USUL SEMEN

Dulu, saat duduk di bangku SD, tentu Anda kerap mendengar cerita tentang kemampuan nenek moyang kita merekatkan batu-batu raksasa hanya dengan mengandalkan zat putih telur. Alhasil, berdirilah bangunan fenomenal, seperti Candi Borobudur atau Prambanan.
Benar atau tidak, cerita tadi menunjukkan dikenalnya fungsi semen sejak zaman baheula. Sebelum mencapai bentuk seperti sekarang, perekat dan penguat bangunan ini awalnya merupakan hasil percampuran batu kapur dan abu vulkanis. Pertama kali ditemukan di zaman Kerajaan Romawi, tepatnya di Pozzuoli, dekat teluk Napoli, Italia. Bubuk itu lantas dinamai pozzuolana.
Sedangkan kata semen sendiri berasal dari caementum (bhs. Latin), yang artinya kira-kira “memotong menjadi bagian-bagian kecil tak beraturan”. Meski sempat populer di zamannya, nenek moyang semen made in Napoli ini tak berumur panjang. Menyusul runtuhnya Kerajaan Romawi, sekitar abad pertengahan (tahun 1100 -1500 M) resep ramuan pozzuolana sempat menghilang dari peredaran.
Baru pada abad ke-18 (ada juga sumber yang menyebut sekitar tahun 700-an M), John Smeaton (insinyur asal Inggris) mene-mukan kembali ramuan kuno berkhasiat luar biasa ini. Dia mem-buat adonan dengan memanfaatkan campuran batu kapur dan tanah liat saat membangun menara suar Eddystone di lepas pantai Cornwall, Inggris.
Ironisnya, bukan Smeaton yang akhirnya mematenkan proses pembuatan cikal bakal semen ini. Adalah Joseph Aspdin, juga insinyur berkebangsaan Inggris, pada 1824 mengurus hak paten ramuan yang kemudian dia sebut semen portland. Dinamai begitu karena warna hasil akhir olahanya mirip tanah liat Pulau Portland, Inggris. Hasil rekayasa Aspdin inilah yang sekarang banyak dipajang di toko-toko bangunan.
Sebenarnya, adonan Aspdin tak beda jauh dengan Smeaton. Dia tetap mengandalkan dua bahan utama, batu kapur (kaya akan kalsium karbonat) dan tanah lempung yang banyak mengandung silika (sajenis mineral berbentuk pasir), aluminium oksida (alumunium) serta oksida besi. Bahan-bahan itu kemudian dihaluskan dan dipanaskan pada suhu tinggi sampai terbentuk campuran anyar.
Selama proses pemanasan, terbentuklah campuran padat yang mengandung zat besi. Nah, agar tak mengeras seperti batu, ramuan diberi bubuk gips dan dihaluskan hingga berbentuk partikel-partikel kecil mirip bedak.
Lazimnya, untuk mencapai kekuatan tertentu, semen portland berkolaborasi dengan bahan lain. Jika bertemu air (minus
bahan-bahan lain), misalnya, memunculkan reaksi kimia yang sanggup mengubah ramuan jadi sekeras batu. Jika di tambah pasir, terciptalah perekat tembok nan kokoh. Namun untuk membuat pondasi bangunan, campuran tadi biasanya masih ditambah dengan bongkahan batu atau kerikil, biasa disebut concrete alias beton.
Beton bisa disebut sebagai karya semen yang tiada duanya di dunia. Nama asingnya, concrete dicomot dari gabungan prefiks bahasa Latin com, yang artinya bersama-sama, dan crescere (tumbuh). Maksudnya kira-kira, kekuatan yang tumbuh karena adanya campuran zat tertentu. Dewasa ini, nyaris tak ada gedung pencakar langit berdiri tanpa bantuan beton.
Meski bahan bakunya sama, “dosis” semen sebenarnya bisa disesuaikan dengan beragam kebutuhan. Misalnya, jika kadar aluminanya diperbanyak, kolaborasi dengan bahan bangunan lainnya bisa menghasilkan bahan tahan api. Ini karena sifat alumina yang tahan terhadap suhu tinggi. Ada juga semen yang cocok buat mengecor karena campurannya bisa mengisi pori-pori bagian yang hendak diperkuat.
Manusia modern memang tak bisa berkelit dari semen. Barangkali itu sebabnya, meski harga jualnya di pedalaman Pa-pua bisa Rp 300.000,- sampai dengan Rp 700.000,- per zak (di Pulau Jawa cuma puluhan ribu saja), semen tetap saja dicari.
(Sumber : Intisari Agustus 2001 No. 451 Tahun XXXVII)

ASAL USUL PERAHU KAPAL


ASAL USUL PERAHU KAPAL

Main kapal-kapalan kertas dan berbagai lagu yang mengambil tema “kapal” mencerminkan kedekatan kita dengan kapal. Sebagai bangsa bahari, nenek moyang kita memang telah menjelajahi Asia Tenggara, Pasifik, hingga Madagaskar untuk berdagang. Diduga perahu mereka berbahan bambu yang mudah diperoleh di Indonesia.
Perahu bambu yang dikenal sebagai rakit atau getek itu pastilah masih sederhana, tanpa kemudi dan layar. Jadi, hanya efektif untuk pelayaran jarak pendek lewat sungai, alias penghubung antar kota. Untuk pelayaran antar pulau atau antar negara perahu itu dipermodern. Misalnya dipasangi balok keseimbangan di kanan-kiri, dilengkapi dayung dan layar.
Beberapa tahun lalu Dr. Alan Thorne mengadakan uji coba pembuatan perahu serba bambu, termasuk dayungnya, di Kep. Seribu, utara Jakarta. Perahu itu dilengkapi tiang dengan layar dari tikar pandan. Lalu dengan perahu itu Thorne menuju sebuah pulau, yang hanya makan waktu 30 menit. Kesimpulannya, perahu jenis itu yang dulu memang dipakai para pelaut Asia purba.
Nyatanya perahu serupa masih dipakai nelayan di Cina. Meski tanpa layar, perahu itu mampu menuju ke tengah lautan. Bahkan dengan membawa hasil laut seberat lima ton! Sayang, hingga kini tak ditemukan bambu sisa perahu purba. Mungkin karena bambu mudah lapuk.
Namun perahu bukanlah temuan kita yang pertama untuk mengarungi perairan. Nun di zaman prasejarah, orang menye-berangi sungai dengan menunggangi batang kayu yang didayung dengan tangan. Sangat sederhana. Baru kemudian terpikir untuk membangun rakit dengan mengikat jajaran batang kayu. Cara berikut, membuat ceruk pada batang kayu.
Di daerah jarang kayu, perahu dibuat dari berbagai bahan. Misalnya, membentuk kulit binatang menjadi kantung besar. Kantung ini menjadi bantal angin yang mengambang di air, siap ditunggangi. Atau, beberapa “Bantal” diikat menyatu menjadi serupa rakit. Di daerah tertentu orang memakai kuali-kuali tanah kecil yang disatukan menjadi rakit. Cara lain, nyemplung ke gentong yang memuat satu orang.
Di Mesir kuno rakit malah dibuat dari alang-alang. Tahun 4000 SM mereka telah membuat perahu sempit yang panjang lengkap dengan dayung untuk menyusuri sungai Nil. Penemuan utama mereka lahir seribu tahun kemudian berupa layar segi empat. Mereka pula yang menemukan teknik membuat kapal papan. Berbeda dengan kapal papan sekarang, kapal papan Mesir sama sekali tidak menggunakan rangka. Papan yang satu hanya disambung dengan yang lain. Teknik itu dikembangkan untuk mem-buat kapal besar.
Antara tahun 2500 SM-1450 SM suku Minoan dan Mycenea di Yunani secara bergantian menjadi penguasa Laut Tengah. Prestasi penting mereka adalah membangun kapal satu layar yang memiliki ruangan luas, serta merintis kapal perang dengan barisan pendayung.
Dua setengah abad kemudian tibalah era pelaut Phoenicia di timur Pantai Laut Tengah dan bangsa Yunani. Tahun 500 SM mereka punya kapal dengan dua tiang layar. Eksploitasi tenaga manusia terjadi di kapal perang Yunani. Tahun 700 SM mereka menggunakan dua susun atas bawah, barisan pendayung di tiap sisi. Tahun 650 SM meningkat menjadi tiga susun atau trireme. Yunani pula yang merintis penggunaan layar segi tiga tahun 300 SM.
Tahun 100 SM kapal Romawi merajai lautan. Kapal terbesar mereka berukuran panjang 55 m dan lebar 14 m dengan daya angkut 1.000 penumpang dan 910 ton barang. Tapi, kamar hanya tersedia bagi orang penting. Penumpang biasa cukup tinggal di dek terbuka. Di malam hari mereka mau tak mau “membangun” sedikit penaung yang melindungi tubuh kala tidur.
Konon, kapal terhebat di kawasan utara Eropa adalah kapal Viking. Antara tahun 700-1000 mereka mengarungi Laut Atlantik Utara hingga Amerika bagian utara. Sebagai perompak, merekalah teror di laut.
Salah satu puncak kemajuan pembuatan kapal terjadi di tahun 1800-an. Itu ketika tahun 1807 Robert Fulion dari AS mambangun kapal uap pertama. Kapal layar besi pertama, The Vulcan, lahir tahun 1818 di Inggris. Tahun 1959 AS meluncurkan Savannah, kapal dagang bertenaga nuklir pertama.
Setelah sekian tahun berkembang, kapal Tanker Seawise Giant diluncurkan tahun 1979, memiliki panjang 458 m.
(Sumber : Intisari Juli 2001 No. 456 Tahun XXXVII, dengan sedikit perubahan)

ASAL-USUL TEMBAKAU


ASAL-USUL TEMBAKAU

Rokok memang sangat populer di masyarakat kita. Asap bakarannya bisa ditemukan kapan saja, di mana saja, dan oleh siapa saja. Bicara rokok tentu tak bisa lepas dari daun tembakau. Meski tak ada catatan resmi, para ahli menduga, tembakau mulai ada sejak tahun 6.000 SM di Amerika.
Mengenai asal-usul tembakau, masyarakat Indian Huron menerangkannya dengan sebuah mitos. Syahdan saat bumi masih gundul, penghuninya di serang kelaparan. Roh Agung mengutus seorang perempuan untuk menolong manusia. Pada tanah yang disentuh tangan kanannya, tumbuhlah kentang. Bila tangan kiri yung menyentuh, tanaman jagung yang tumbuh. Begitu jagung dan kentang telah berlimpah, ia pun duduk melepas lelah. Eh, saat ia bangkit, dari tanah tempat ia duduk menyembul tanaman tembakau.
Demikianlah mereka hendak mengatakan, betapa lamanya tembakau dan manusia telah bersahabat. Memang, tahun 1 SM penduduk asli Amerika telah merokok, mengunyah, dan mencium daun tembakau. Bahkan di tahun 1 M, tembakau bisa ditemukan di hampir seluruh Amerika.
Diduga pula, istilah tobago yang semula nama sejenis pipa rokok masyarakat Indian di Karibia terpeleset menjadi tobacco atau tembakau dalam bahasa kita. Sedangkan sigaret bisa jadi berasal dari istilah Indian Maya Sik’ar yang artinya merokok. Suku ini diketahui sudah merokok pada tahun 600-1.000. Ini berdasar peninggalan berupa bejana tanah liat dari sebelum abad XI di Uaxactun, Guatemala. Di permukaannya ada gambar orang Indian Maya merokok lintingan daun tembakau.
Tembakau pun “keluar” dari benua Amerika saat 12 Oktober 1492 Cristobal Colon atau Columbus dan awaknya mendarat untuk pertama kali di pantai P. Watling, Amerika Tengah. Mengiranya dewa, menurut jurnal Columbus, “Penduduk asli Arawak mempersembahhan buah-buahan, tombak kayu, dan sejenis daun kering yang berbau aneh”. Sekembali ke kapal, mereka memakan buah-buahan, tapi daun kering itu dibuang.
Namun, siapakah penemu rokok? Namanya Rodrigo de Jeres dan Luis de Torres. November 1492, di Kuba mereka melaporkan, penduduk asli membungkus tembakau kering dengan daun palem atau jagung, menyalakan salah satu ujungnya, lalu mengisap asapnya. Jerez pun meniru. Mungkin dialah perokok pertama bukan asli Amerika. Kebiasaannya berlanjut saat pulang ke Spanyol. Malang, kepulan asap dari mulut dan hidungnya membuat para tetangga takut sampai ia dipenjarakan. Ironisnya, saat ia bebas tujuh tahun kemudian, masyarakat sudah demam rokok.
Sebenarnya, biji tembakau dibawa ke Spanyol dari Santo Domingo tahun 1559 dan ke Roma pada 1561, mula-mula
diperkenalkan sebagai tanaman hias dan obat. Ia pertama kali dibawa ke Eropa dari Florida tahun 1505 oleh Sir John Hawkins, pahlawan AL Inggris. Namun, baru 20 tahun kemudian budaya merokok dengan pipa mulai muncul di Inggris, yang akhirnya menyebar ke seluruh benua Eropa.
Rokok sigaret sebenarnya sudah ada sejak 1518, seperti milik masyarakat Aztec, Meksiko, yang mirip produk abad XX. Bedanya, tembakau rajangan sigaret Aztec dijejalkan ke dalam batang berlubang atau dibungkus daun, biasanya jagung. Pada abad XVI, gelandangan Sevilla, Spanyol, memunguti puntung-puntung cerutu yang terbuang, membongkar isinya, lalu melintingnya lagi dengan kertas koran. Cara irit itu ternyata ditiru kaum non gelandangan. Pekerjaan tangan itu mulai jarang dilakukan setelah ditemukan mesin pelinting sigaret pada awal tahun 1880-an.
Pada dekade I abad XVII, seluruh belahan dunia telah mengenal tembakau. Budidaya yang dilakukan John Rolfe, suami Pocahontas, di Jamestown tahun 1612 mendongkrak nilai ekonomi tembakau. Nilai daun tembakau terus meroket sampai di abad XVII dan awal XVIII sempat menjadi alat tukar. Bayangkanlah, pajak, utang, bahkan gaji pegawai negeri, tentara, dan pendeta, semuanya dapat dilunasi dengan daun tembakau. Namun, yang bertahan sampai kini, ya fungsi utamanya tadi, sebagai bahan baku rokok.
(Sumber : Intisari Agustus 1999 No. 433 Tahun XXXVI)

ASAL USUL TEKSTIL

ASAL USUL TEKSTIL

Tekstil berasal dari bahasa Latin textilis atau bahasa Prancis texere yang artinya menenun. Tekstil dibuat dari serat, baik yang alami atau yang buatan. Serat alami berasal dari tanaman, binatang, atau mineral. Dibandingkan dengan hewan atau mineral, tanaman menyediakan lebih banyak serat. Selain wol, serat hewan adalah serat sutera. Meski wol terbanyak dihasilkan oleh biri-biri, namun bulu keluarga unta dan kambing pun bisa dimanfaatkan. Serat mineral alami untuk tekstil adalah asbestos, sejenis batuan.
Sejak kapan manusia mengenal tekstil? Diduga, tekstil ada sejak zaman Neolitikum atau Batu Baru (8000-2000 SM). Penemuan alat tenun, misalnya gelondong benang atau alat tenun batu, membuktikan adanya proses pemintalan dan penenunan di zaman itu.
Saat orang mulai tinggal di kota, tekstil makin banyak dibuat dari beragam serat. Sayangnya hanya sedikit bukti tenunan di zaman peradaban kuno yang ditemukan, misalnya dari Mesir dan Peru. Di Mesir ditemukan tenun lena yang berusia 6.000-7.000 tahun dan kain dengan pola-pola tertentu yang dibuat dengan teknik tapestri abad XV SM. Sedangkan di Peru, temuan berupa katun dan wol bulu ilama.
Di tahun 5000 SM masyarakat Mesir dinilai sudah terampil menenun kain lena dari rami halus. Selain berdasarkan penemuan
berupa secarik kain lena halus, pendapat itu didukung oleh temuan sejumlah mumi dari tahun 2500 SM yang terbungkus kain lena bermutu sebaik produk sekarang.
Ternyata, pada tahun 3000 SM masyarakat lembah Sungai Indus, kini wilayah Pakistan dan India bagian barat, telah menggunakan katun kapas. Bahkan konon, di saat yang bersamaan masyarakat di Amerika telah mengolah kain sejenis itu. Sedangkan masyarakat Cina sejak sekitar tahun 2700 SM telah mengusahakan ulat sutera, selain mengembangkan alat tenun khusus untuk serat sutera. Perkiraan ini didukung temuan potongan kecil sutera tenun berbordir menempel di patung perunggu dari Dinasti Shang (1523-1028 SM).
Penyebaran tekstil dari timur ke barat dimulai tahun 300 SM saat balatentara Iskandar Agung membawa pulang ke Eropa benda-benda katun dari wilayah Pakistan. Mereka lantas mengembangkan perdagangan kain secara besar-besaran dengan mengimpor pakaian wol dari Inggris, Gaul (kini Prancis), dan Spanyol, kain lena dari Mesir; Katun dari India; serta sutera dari Cina dan Persia (kini Iran). Sayangnya sedikit sekali tekstil yang bertahan dari masa Kekaisaran Romawi di Barat dan Dinasti Han (202 SM – 220) di Timur.
Industri tekstil Eropa mulai bangkit antara tahun 400-awal dan 1500-an. Inggris, Italia bagian utara, dan Flanders (kini meliputi sebagian Belgia, Prancis dan Belanda) jadi pusat produksi bagian wol. Sedangkan Italia jadi pusat produksi sutera. Dalam periode ini, tepatnya tahun 1200-an mulai dipakai roda pemintal, selain ditemukan mesin pembuka kokon sutera.
Perkembangan penting industri tekstil terjadi setelah abad pertengahan (1100-1500). Namun kemajuan terhebat berlangsung saat Revolusi Industri (abad XVII-awal XIX). Revolusi Industri memang berkaitan dengan revolusi industri tekstil. Ini karena membanjirnya penemuan baru di Inggris yang berakibat melonjaknya produksi benang dan kain.
Penemuan hebat itu antara lain alat pintal pertama yang mampu memintal beberapa benang sekaligus yang dikenal dengan Spinning Jenny, oleh penemu James Hargreaves pada tahun 1764. Mantan tukang cukur Richard Arkwright pada tahun 1769 mematenkan Water Frame, alat pintal bertenaga air. Tahun 1973 penemu berkebangsaan Amerika Eli Whitney mengembangkan mesin pemisah biji kapas. Alhasil, pabrik tekstil berbahan baku kapas meningkat pesat.
Hampir sepanjang sejarah, orang hanya menggunakan serat alam. Namun pada 1884 ahli Kimia Prancis Hilaire Chardonnet mengembangkan cara praktis menghasilkan serat buatan. Serat yang kini dikenal sebagai rayon pertama kali dihasilkan di AS tahun 1910 dan disebut sutera buatan. Wallace H. Corothers, ahli Kimia Amerika, mengembangkan nilon pada pertengahan 1930-an.
Sedangkan tahun 1940-1950-an mulai diperkenalkan serat buatan lain seperti polyester dan acrylic. Berbeda dengan serat alami yang pendek, serat buatan atau filamen sangat
panjang dan tidak terputus. Selain itu serat buatan biasanya lebih kuat dan elastis.
(Sumber : Intisari Mei 1999 No. 430 Tahun XXXV)

Asal Usul Bel


ASAL USUL BEL


Zaman sekarang dentang lonceng memang jarang terdengar. Fungsi lonceng telah digantikan oleh bel listrik. Selain praktis, lebih nyaring, melodinya pun bisa dibuat bervariasi.
Konon, lonceng atau bel berasal dari kata dalam bahasa Anglo-Saxon bellan yang artinya berteriak, asal-usulnya di jaman perunggu (6500 - 3000 SM). Bermula dari sekadar me-rangkaikan sejumlah lempengan yang bila diguncangkan akan bergemerincing, lalu dimodifikasi menjadi cangkir terbalik yang di dalamnya diikatkan sebutir kerikil, lahirlah lonceng primitif.
Namun lonceng seperti yang kita lihat sekarang, tampaknya baru dikenal dalam peradaban manusia sekitar tahun 800 SM. Buktinya, dari penemuan arkeologis didapatkan lonceng perunggu penuh ornamen dari Asiria. Bahkan masyarakat Cina dari masa yang sama pun diduga sudah mengenal lonceng. Tak heran bila muncul kesimpulan, lonceng berasal dari kawasan Asia.
Fungsinya pun beragam sekaligus unik. Di Yunani kuno misalnya, pada masa perang bunyi lonceng memperingatkan warga bahwa musuh telah mendekati gerbang kota. Sedangkan di masa damai, dentangnya pertanda ikan-ikan segar telah tiba di pasar dan siap diperdagangkan.
Bagaimana lonceng menyebar ke wilayah lain? Adalah bangsa Celt, nenek moyang bangsa Irlandia, Skotlandia, dan Wales yang masyhur dengan ilmu cetak logam yang membawanya ke Eropa.
Selanjutnya perkembangan lonceng sesuai dengan wilayah pakainya, Barat dan Timur. Lonceng di Timur biasanya serupa pot atau ember panjang dengan tebal dinding merata di seluruh bagiannya dan untuk membunyikannya harus dengan dipukul. Sedangkan lonceng di Barat lebih mirip cangkir. Lonceng yang banyak diternukan di Eropa Barat dan Selatan itu dibunyikan dengan diayun agar lidah lonceng menghantam dindingnya.
Perkembangannya melahirkan pengetahuan baru yaitu ilmu dan seni tentang bel atau campanology yang berakar dari kata Italia campana yang berarti lonceng. Umumnya lonceng terbuat dari campuran tembaga dan timah, meski ada juga lonceng dari kayu, batu, tulang, dan sebagainya.
Saat pembuatan, digunakan dua cetakan untuk bagian dalam dan bagian luar, bisa dari tanah liat atau salah satu dari besi. Untuk bagian dalam cetakannya dibuat solid, sedangkan bagian luar berongga. Masing-masing dibuat berpori-pori sehingga gas dalam logam cair bisa keluar. Kalau tidak, din-
ding lonceng akan menyimpan gelembung udara, hasilnya pun tidak sempurna.
Selanjutnya, logam cair dalam cetakan didiamkan sampai mengeras. Sebelum bentuknya yang sekarang, lonceng mengalami evolusi. Pada abad ke-9 bibir lonceng perunggu dipertebal agar tidak mudah retak terhantam lidah atau saat diletakkan. Perubahan lain terjadi di bagian pinggang. Lonceng yang semula berpinggang panjang dan cembung, pada abad ke-13 menjadi ce-kung, serupa dengan bentuk sekarang. Bibirnya pun sangat menonjol, sehingga bunyinya pun makin nyaring.
Malah sejak 1400-an ukuran lonceng pun makin besar. Penyebabnya, daerah hunian masyarakat makin luas, dentang lonceng pun harus bisa terdengar makin jauh. Karena kekhasannya, lonceng juga dipakai dalam komposisi orkestra. Di antaranya tahun 1791 oleh Nicholas Dalayrac dalam opera Camille, dan tiga tahun kemudian oleh komponis Italia Luigi Cherubini dalam opera Elisa. Sayang, karena kurang praktis dan terlalu mahal, fungsinya digantikan genta tabung.
Beberapa lonceng terkenal adalah Big Ben di London, Katedral Notre Dame di Paris, Katedral Santo Petrus di Vatikan. Sedangkan lonceng terbesar adalah Tsar Kolokov di Kremlin, Moskow, yang dicetak tahun 1733 dengan lingkar mulut 690,9 cm dan berat 201.472,5 kg. Tragisnya, ketika dibunyikan untuk pertama kali lonceng itu pecah akibat kesalahan saat mencetak. Selanjutnya, dentangnya tak bergema lagi.
(Sumber : Intisari Juni 1998 No. 419 Tahun XXXV)